TATTOO

Rabu, 17 November 2010


TAK banyak yang mengetahui figur di balik karier akademik Stanley Ann Dunham-Soetoro, Ibunda Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama.
Atas penelitian yang dilakukannya di Indonesia selama belasan tahun, yang kemudian dituliskannya dalam disertasi untuk meraih gelar doktor bidang antropologi di University of Hawaii at Manoa (UHM) dengan judul “Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against all Odds”, Ann Dunham-Soetoro mendapatkan Bintang Mahaputera dari pemerintah Indonesia.
Bintang itu diberikan Presiden SBY di tengah makan malam kenegaraan menyambut kunjungan Presiden Obama pekan lalu (9/11).
Menurut Presiden SBY, Ibunda Obama telah memperlihatkan dedikasi dan pengorbanan yang tinggi dalam penelitian ilmiah yang dilakukannya di Indonesia.
“Visi dan hasil peneliti yang cemerlang itu banyak membantu komunitas intelektual dan pemerintah Indonesia dewasa ini,” ujar SBY.
Adalah Profesor Alice Dewey, yang memiliki peran di balik karya akademik Ann Dunham-Soetoro. Suratmi, demikian nama Jawa yang didapatkannya dari seorang lurah saat dia menetap di Indonesia untuk melakukan serangkaian penelitian mengenai kehidupan masyarakat di pedesaan Jawa pada era 1950an dan 1960an.
Alice adalah ketua komite disertasi yang membimbing proses penelitian dan penulisan disertasi Ann Dunham itu. Ia merupakan salah seorang antropolog besar yang dimiliki UHM dan Amerika Serikat. Sebegitu dekat hubungan antara Alice Dewey dan Ann Dunham-Soetoro, sehingga keduanya sudah seperti keluarga. Alice Dewey beberapa kali menginap di rumah Ann Dunham-Soetoro saat masih tinggal di Indonesia. Begitu juga sebaliknya, walau kedua orang tuanya tinggal di Hawaii, pernah pada suatu masa Ann Dunham-Soetoro dan Maya Soetoro, putrinya dari perkawinan dengan Lolo Soetoro, menetap di rumah Alice Dewey di Honolulu.
Seperti adiknya, Barack Obama kecil juga memiliki hubungan yang dekat dengan Alice Dewey.
Pada awal 1950an, Alice Dewey dan sejumlah mahasiswa program doktoral dari Harvard University lainnya mendapatkan beasiswa dari MIT untuk melakukan penelitian di Jawa. Fokus studi Alice adalah tentang kehidupan dan interaksi sosial di pasar tradisional. Mahasiswa Harvard lainnya yang masuk dalam kelompok ini adalah Clifford Geertz (bidang agama dan nilai tradisional), Hilderd Geertz (bidang organisasi keluarga), Donal Fagg (bidang administrasi organisasi, Robert Jay (bidang kehidupan dan ekonomi pedesaan), dan Edward Ryan (bidang komunitas Tionghoa di Jawa).
Dari tim Harvard/MIT ini yang paling dikenal, khususnya, oleh publik Indonesia adalah Clifford Geertz. Umumnya, Geertz dikenal dengan teori santri-priyayi-abangan yang diintrodusirnya, yang sampai kini masih digunakan banyak peneliti dalam dan luar negeri untuk menganalisa kehidupan politik di Indonesia. Penelitiannya mengenai involusi pertanian di Jawa dianggap memiliki peranan penting di balik pergeseran arah perekonomian Indonesia dari pertanian menuju industri substitusi impor dan orientasi ekspor. Karya-karya Geertz ini mendapat tempat di hati negara-negara dan lembaga-lembaga internasional pengucur utang, dan tentu saja di kalangan akademisi pendukung developmentalisme.
Berbeda dengan Clifford Geertz, penelitian Alice Dewey mengenai interaksi ekonomi di pasar tradisional memperlihatkan bahwa nilai-nilai lokal dan pola ekonomi tradisional memiliki peluang besar untuk menjadi pondasi perekonomian nasional. Namun pendekatan ini tentu saja membutuhkan pemerintah yang memiliki cara pandang yang sama.
Sayangnya, pendekatan Alice Dewey tidak mendapat tempat. Rezim Orde Baru yang berdiri di akhir 1960an memilih mendukung model pembangunan a la Eropa Barat pasca Perang Dunia Kedua. Teknokrat Indonesia kala itu percaya bahwa hanya dengan utang (dan stabilitas politik), seperti yang didapatkan negara-negara Eropa Barat melalui Marshall Plan, Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara industri lain. Teori ini sepintas tampak berhasil. Di awal 1980an Indonesia menjadi salah satu keajaiban Asia. Tetapi nyaris dua dekade setelah itu, gelembung ekonomi itu pecah. Perekonomian Indonesia terjerembab ke titik paling mematikan, yang selanjutnya melahirkan krisis politik terparah sejak Indonesia merdeka.
Alice Dewey, yang setelah kembali dari Indonesia memilih menetap di Hawaii dan mengajar di UHM, mencium bahaya itu jauh-jauh hari sebelumnya. Tetapi tak banyak yang dapat dilakukannya, selain menyebarkan keyakinannya bahwa pendekatan pembangunan yang ditawarkan akademisi seperti Clifford Geertz lah yang melahirkan involusi dan bahkan paradoks pembangunan.
Di tahun 1973, setelah enam tahun menetap di Indonesia, Ann Dunham-Soetoro memilih kembali kembali ke Hawaii untuk melanjutkan pendidikannya di jurusan antropologi. Di sinilah untuk pertama kali ia bertemu dengan Alice Dewey. Pengalaman selama enam tahun di Indonesia, khususnya di masa-masa awal transisi politik dan ekonomi Indonesia, cukup bagi Ann Dunham-Soetoro untuk memahami jalan pikiran Alice Dewey.
Seperti sang guru, Ann Dunham-Soetoro juga melihat persoalan yang sama. Dan itu yang membuat ia kembali lagi ke Indonesia dan mencoba untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan dan dilupakan pendekatan developmentalisme: praktik ekonomi yang dilakukan oleh rakyat di kawasan pedesaan, yang walau sepintas terlihat kecil namun sesungguhnya merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Di bagian awal disertasinya, Ann Dunham-Soetoro dengan tegas mengatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukannya menghasilkan pendekatan yang bertolak belakang dengan pendekatan developmentalisme yang diintrodusir Geertz.
Ann Dunham-Soetoro menyelesaikan disertasinya pada tahun 1992. Menurut cerita Alice Dewey kepada penulis, sebelum meninggal dunia di tahun 1995, Ann Dunham-Soetoro sempat menuliskan sepucuk surat kepada dirinya, yang antara lain meminta agar disertasi itu diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
Baru 13 tahun kemudian Alice Dewey dapat memenuhi wasiat itu. Disertasi Ann Dunham-Soetoro diterbitkan sebagai buku untuk pertama kalinya oleh penerbit Mizan dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pendekar-pendekar Besi Nusantara”.
Baru di akhir 2009, penerbit AS, Duke University Press, menerbitkan disertasi Ann Dunham-Soetoro ke dalam bahasa Inggris.
Bulan Maret 2010 lalu, Alice Dewey mengunjungi Indonesia untuk menghadiri seminar mengenai karya akademik Ann Dunham-Soetoro yang diselenggarakan oleh Rakyat Merdeka Online.
Ia yang kini berusia 82 tahun terbang sendirian dari Honolulu ke Jakarta untuk bertemu dengan publik Indonesia dan menjelaskan karya akademik yang dihasilkan muridnya. Jalan pikiran Obama, demikian Alice, nyambung banget dengan jalan pikiran Ann Dunham. Kapitalisme global telah memperlihatkan kegagalannya, dan perlahan tapi pasti akan menemui kehancuran. Obama, katanya, berusaha menyelamatkan perekonomian Amerika Serikat dan dunia umumnya dari bahaya kehancuran itu.
Apakah Obama akan berhasil?
Itu hal lain, ujar Alice Dewey. Karena faktanya, Obama bukan penguasa tunggal di Amerika Serikat. Di dalam negeri ia menghadapi perlawanan dari kelompok konservatif dan kaum industrialis yang percaya bahwa Amerika Serikat dan dunia tidak punya jalan lain selain melanjutkan jalan ekonomi yang mereka yakini sampai kini.
Menurut hemat penulis, kunjungan Obama yang sangat singkat pekan lalu seharusnya dipandang dari sudut yang lebih substansial, tidak sekadar superfisial (fenomena di permukaan) dan artifisial (mengada-ada) semata. Juga tidak cukup memahami jalan pikiran Ann Dunham-Soetoro hanya dengan memberikan Bintang Mahaputera itu.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

blogger templates | Make Money Online